Jumat, 08 Desember 2017

Indahnya Kepercayaan dan Kejujuran Diantara Kita

Pada satu waktu, saya mengikuti sebuah acara yang menjadi wadah koneksi antara pemerintah dengan masyarakat. Salah satu narasumbernya menjelaskan tentang program-program pemerintah dalam pembangunan berbasis teknologi, salah satunya dalam hal pajak. Bagaimana pengutipan pajak restoran dimulai dengan manual, lalu melalui bank dengan sistem yang masih dikendalikan oleh manusia dan kemudian dicanangkan bagaimana hal tersebut bisa tersistem secara otomatis tanpa verifikasi manual oleh manusia. Hebat bukan?

Ya, hebat sekali. Karena sekilas hal itu mencerminkan bahwa kita merupakan bangsa yang maju dengan teknologi yang mutakhir pula.
Namun, alasan dibalik pemutakhirannya cukup membuat saya (semoga kalian juga) merasa miris.

Narasumber itu bercerita, salah satu dasar dari pembayaran pajak secara praktis melalui bank adalah "ketidakpercayaan" pengusaha kuliner atas kutipan pajak secara manual, yang dibayarkan melalui pegawai pajak. Yang dikhawatirkan oleh mereka adalah penyelewengan sehingga pajak tersebut tidak sampai pada kas negara.
Begitupun inovasi selanjutnya. Selama masih ada campur tangan manusia atau belum ada sistem verifikasi langsung dari sistem yang sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi, maka selama itu pula "ketidakpercayaan" masih eksis, karena dikhawatirkan masih ada celah bagi orang-orang tidak jujur untuk bermain kotor demi mendapat keuntungan dalam hal ini.
Begitu rumitnya memikirkan suatu rancangan pembangunan dan sistem di negara kita, selama rasa ketidakpercayaan dan sifat tidak bisa dipercaya masih bercokol dalam masyarakat kita. Dan rasa ketidak percayaan itu hadir bukanlah tanpa alasan. Perasaan itu muncul karena masyarakat sudah terlalu banyak "tersakiti" oleh kasus penyelewengan dan KKN yang terjadi dalam instansi pemerintahan.

Maka, dalam hal ini sebenarnya bukanlah sistemnya yang terus diutak atik. Namun pola pikir dan sikap kita lah yang harus diubah. Penanaman pola pikir dan sikap yang santun serta terpercaya bisa diwujudkan melalui pendidikan agama dan moral yang diutamakan pada generasi mudaa kita sejak dini. Bukan tidak mungkin jika hidup akan lebih mudah dan menyenangkan bila ada "trust" satu sama lain antar dua pihak, masyarakat dan pengurus pemerintahannya.

Sebut saja sistem pembayaran ongkos transportasi massal seperti bus. Alangkah mudahnya jika kita menerapkan teknologi dengan kejujuran dan sikap saling percaya. Kita hanya perlu membayar ongkos melalui kartu yang berisi saldo kita. Dan pembayarakan itu dilakukan atas kesadaran dan kejujuran kita sendiri. Kesadaran untuk bersikap jujur dan sadar bahwa ada Allah yang melihat tingkah laku kita yang curang. Tidak perlu lagi ada petugas yang mengawasi jika sewaktu-waktu ada yang tidak membayar, karena sudah timbul rasa saling percaya dan pikiran bahwa pengadilan Allah atas segala kecurangan akan lebih adil kelak. Begitupun sistem pembayaran pajak, yang bisa dilakukan melalui teknologi hanya atas dasar kemudahan, bukan kekhawatiran akan adanya "kong kali kong" antar petugas wajib pajak. Bukan tidak mungkin, jika aspek kehidupan lainnya juga ikut lebih mudah dan menenangkan dengan sikap yang sama.

Yang menjadi catatan bagi kita semua, upaya menumbuhkan rasa percaya harus dilakukan seiring dengan upaya pembiasaan sikap jujur serta taqwa pada Allah swt. Sehingga, kehidupan yang aman, tentram dan menenangkan akan hadir seiring tanpa ketimpangan sikap antara kedua belah pihak.