Kamis, 06 Desember 2018

MENJADI PRODUKTIF UNTUK INDONESIA KREATIF

Dunia sedang memasuki era globalisasi dan IPTEK, dimana kehidupan semakin canggih dan persaingan semakin ketat. Era revolusi ini ditandai dengan semakin majunya teknologi untuk memudahkan kehidupan manusia, salah satunya Artificial Intelligence (AI). Namun, teknologi ini bisa memberikan efek samping, yaitu tergerusnya peluang bekerja bagi masyarakat karena perlahan akan tergantikan dengan teknologi. Persaingan bukan lagi terjadi antarmanusia, namun juga terjadi di antara manusia dengan teknologi. Lambat laun, fenomena ini merambah hingga ke Indonesia. Mau atau tidak hal ini harus kita hadapi dengan mempersiapkan diri kita. Ada hal-hal dalam diri manusia yang tidak bisa disaingi oleh teknologi, yaitu soft skill khususnya kreatifitas. Maka dari itu, perlu rasanya membangun diri sebagai generasi yang kreatif, seperti yang dibahas dalam acara Flash Blogging kali ini dengan tema "4 Tahun Indonesia Kreatif" yang diadakan oleh Kominfo RI.

Bersama bapak Andoko Darta, staf ahli komunikasi presiden, 150 anak muda Medan yang hadir pada hari ini (07/12/2018) di aula Hotel Grand Aston Medan diberikan ilmu bagaimana menjadi generasi yang produktif dan menjadi pelopor untuk mewujudkan Indonesia Kreatif.




Materi acara ini diawali oleh cerita pak Andoko, bagaimana berpuluh tahun lalu Korea Selatan masih manjadi negara berkembang seperti Indonesia lalu kemudian melaju pesat sebagai negara maju, dan itu terjadi karena kiprah pemuda dan pemudinya sebagai agent of change. Artinya, para pemuda dan pemudi Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk membangun Indonesia menjadi lebih maju dengan sikap produktif dan kreatif di era revolusi dan globalisasi ini. Apalagi Indonesia mempunyai peluang untuk maju khususnya dalam bidang ekonomi kreatif, pariwisata, dan teknologi.

Pak Andoko juga membeberkan 6 jenis anak muda, yaitu (1) Pemuda Kreator seperti contoh founder start up dan musisi, (2) Pemuda Peduli seperti contoh relawan, (3) Pemuda biasa seperti contoh pekerja kantoran, (4) Pemuda Pahlawan seperti contoh atlet dan tim SAR, (5) Pemuda Cendekiawan seperti contoh ilmuwan, dan (6) Pemuda Eksplorer seperti contoh para Traveler alam. Keenam jenis anak muda ini dapat ditemukan di lingkungan kita dengan bermacam-macam passion dan ketertarikannya.

Satu hal yang harus digaris bawahi adalah jenis-jenis itu bukan untuk mengkotak-kotakkan siapa yang terbaik diantara yang lain. Pelaku ekonomi kreatif seperti founder sebuah start up memang baik, namun menjadi pekerja kantoran pun sama baiknya. Setiap jenis punya andil yang sama pentingnya. Jika semua orang menjadi pengusaha atau atlet, maka siapa yang akan menjadi pengurus birokrasi masyarakat? Maka dari itu, masing-masing tipe dan jenis tersebut mempunyai kedudukan yang sama pentingnya.

Selain itu, yang terpenting adalah para pemuda dengan berbagai tipe tersebut bisa produktif sesuai dengan passion-nya masing-masing dan bisa berkarya dan kreatif dengan caranya masing-masing. Produktif dan kreatif merupakan hal terpenting sebagai bekal untuk bersaing di kancah global dalam era globalisasi ini. Dengan adanya produktivitas dari pemuda dan pemudi Indonesia, target untuk memajukan negeri dan mewujudkan Indonesia Kreatif pun bisa terealisasi.

Syukurnya, pemerintah Indonesia secara antusias memberikan wadah dan fasilitas bagi para pemuda dengan macam-macam passion untuk semakin mengembangkan dirinya seperti yang dibeberkan oleh pas Andoko. Salah satu wadahnya diberikan oleh Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) RI untuk menunjang kemajuan start up dan ekonomi kreatif Indonesia. Selain itu, infrastuktur dan fasilitas lainnya juga diberikan untuk menunjang passion anak muda, seperti beasiswa, tunjangan atlet, dan pembangunan pariwisata. Wadah dan pembangun serta fasilitas tersebut diharapkan bisa bermanfaat untuk mendukung anak muda Indonesia agar lebih produktif sesuai minatnya sehingga mampu diandalkan sebagai agent of change atau agen perubahan menuju Indonesia Kreatif.


Jumat, 03 Agustus 2018

I Hate Being Introvert

Perkenalkan, gue Dini. Dan gue seorang introvert.

Mungkin gue ga perlu jelasin lebih jauh tentang introvert. Tapi gue akan coba luruskan sedikit persepsi tentang introvert yang orang awam tahu.
Ketika mendengar kata "introvert", gue yakin banyak dari kalian yang berpikir bahwa introvert adalah seorang kutu buku, pendiam, penyendiri, gak mau berteman, dan sebagainya.

Tapi sebenarnya persepsi itu kurang tepat.
Menurut beberapa artikel dan jurnal yang pernah gue baca, introvert itu bukan orang yang sukanya menyendiri terus. Engga. Introvert juga bisa berteman. Dia juga bisa berinteraksi dengan nyaman di satu perkumpulan. Tapi ya itu, setelahnya introvert butuh waktu untuk me-time, me-recharge energinya kembali karena interaksi dengan khalayak ramai itu menghabiskan energinya.

Btw, gue adalah tipe orang yang seperti itu.

Dan apa yang terjadi ketika gue harus menghadapi momen dimana 24 jam gue dihabiskan bersama lebih dari 17 orang selama sebulan?

Sebagai mahasiswa menjelang tingkat akhir, kampus gue punya beberapa program pengabdian masyarakat, salah satunya adalah KKN (Kuliah Kerja Nyata). Selama satu bulan, gue akan hidup 24 jam bersama-sama 24 orang lainnya selama sebulan, melaksanakan kerja tim dan membuat program pengabdian masyarakat.
Sebelumnya gue gak pernah ada masalah dengan kerja sosial, karena udah punya basic dalam kerelawanan. Dan gue ga pernah punya masalah dalam interaksi dengan orang lain. Itu yang gue pikir.
Ternyata, mulai dari sini gue mulai sadar kekurangan-kekurangan gue.
Kebiasaan gue menikmati waktu sendirian terbawa sampai ke program KKN gue, dimana seharusnya gue harus banyak-banyak berkumpul dan berinteraksi dengan orang lain.
Sebelum ini, gue merasa bangga bahwa gue beda dari cewek lain. Gue bisa terbiasa kemana-mana sedirian, bahkan travelling jarak jauh. Gak seperti yang lain yang kalau ke toilet mungkin minta ditemenin.
Mungkin gue pribadi baru sadar sekarang karena sebelumnya gak ada yang ngingetin atau ngerasain dampak buruk dari kepribadian gue ini.

Tapi sekarang. Gue ngerasa kesal dengan diri sendiri.

Masalahnya bukan hanya tentang introvert. Gue juga orang yang perfeksionis dalam satu hal yang menjadi tanggung jawab gue, terlalu segan untuk merepotkan orang lain, dan menganggap bahwa "selama tugas ini bisa gue kerjakan sendiri, gue kerjakan sendiri aja deh". Percayalah, sikap ini berbahaya sekali ketika kalian harus menghadapi kerja tim.

Ada satu momen dimana gue akan berbicara atau sharing di forum, setelah itu gue akan keluar, mengambil tempat untuk sendiri sekadar melihat-lihat sekitar.
Ada momen yang lain dimana gue menghandle beberapa hal seperti perizinan, materi, atau konsep yang lain dan berpikir bahwa teman-teman se tim gue akan senang karena gak akan direpotkan lagi sama gue karena hal ini.
Ada juga momen dimana gue ikut menghandle semuanya sendiri karena gue mau semuanya sesuai dengan rencana gue.
Dan bahkan ada momen dimana gue ngerasa inscure dan gak pede temenan sama mereka dan mikir bahwa gue gak cukup asik untuk temenan sama mereka.

Kenyataannya sikap begitu ga bener, dan itu cukup ngerusak hubungan gue dengan teman-teman setim. Mereka merasa tidak dipercaya, mereka merasa jadi orang bego karena ga ngerti apapun tentang project kita, dan lebih parahnya lagi mereka berpikir bahwa gue gak mau temenan sama mereka karena sering sendirian.

Untungnya, teman-teman KKN gue mau ngomong baik-baik. Ngobrol empat mata, dan tanya kenapa gue begitu. Dan separah-parahnya sikap gue, gue selalu melatih diri juga untuk terbuka dan legowo dengan segala kritikan dan keluhan. Mereka ternyata gak seperti yang gue pikirkan. Mereka sangat perhatian dengan gue (sampai izin kemana-mana tetap ditanya "udah makan atau belum", "udah dimana", "jam berapa pulang", "hati-hati ya", "udah dimana? Biar dijemput di simpang sekarang"). Mereka dengerin kenapa gue bersikap begitu, dan entah kenapa gue baru ini bisa bener-bener nyaman cerita tentang gue yang trauma punya pengalaman dibullying yang parah secara psikologis selama masa SMA yang cukup membuat gue depresi dulunya.

Ah iya, gue baru sadar juga sih. Bisa jadi sikap menyendiri gue timbul karena gue pernah dibullying parah dan bikin gue sendirian terus selama beberapa bulan. Gue secara gak sadar menutup diri karena takut punya teman yang dekat banget, tapi akhirnya dimusuhi lagi dan dibullying lagi seperti dulu. Karena yang gue inginkan sekarang adalah menghindari konflik pertemanan agar gak dibullying lagi, dan menjadi orang yang berteman ala kadarnya agar kejadian dulu gak terulang lagi. Tapi ternyata sikap gue ini malah memunculkan konflik juga. Wkwkwk.

Sebagai pengingat untuk diri gue sendiri dan orang-orang yang punya kepribadian yang sama dengan gue, mentor gue pernah bilang seperti ini; "kamu bukanlah hamba/budak dari kepribadianmu. Tapi kamu adalah hamba Tuhanmu".
Artinya, kita bisa mengubah kepribadian kita sesuai dengan kondisi yang ada. Karena kita bukan hidup untuk diri sendiri, namun juga hidup untuk orang lain. Istilah manusia sebagai makhluk sosial itu bener kok. Karena introvert seperti gue bahkan bisa nangis kalau udah menyinggung masalah hubungan pertemanan. Gue pribadi juga merasa "percuma gue banyak-banyak baca buku dan denger podcast tentang self improvement, kalau gue bahkan gabisa aplikasikan itu di kehidupan gue sendiri".

Untuk yang punya teman sama seperti gue, percayalah kita-kita sebenarnya gak ingin dibiarkan. Kita gak ingin dijauhi. Kita cuma ingin dirangkul, ditemani, diberi dukungan dan dianggap menjadi bagian dari kalian. Karena salah satu masalah introvert sendiri adalah cukup sulit berbaur secara konsisten dengan orang lain.

Mungkin segini aja curhatan pengalaman gue. Percayalah menulis ini menjadi media gue meluapkan perasaan agar gue sendiri bisa lega. Semoga bermanfaat buat semuanya.

Senin, 23 April 2018

Dream, girl!: Mendobrak Stereotipe.

Berbicara mengenai perempuan memang tidak ada habisnya. Perempuan dan segala kisahnya kerap digaungkan sebagai bagian dari perjalanan hidup , termasuk oleh masyarakat Indonesia. Dengan ibu Kartini sebagai representatif, perempuan dengan segala tentangnya kerap dibincangkan oleh kita semua, setidaknya setahun sekali melalui hari Kartini.

Hari ke hari, ibu Kartini selalu menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia dari berbagai zaman. Tentunya zaman setelah Kartini. Hadirnya ibu Kartini menjadi sebuah pemantik bagi perempuan-perempuan Indonesia setelahnya untuk bergerak, mengaktualisasikan dirinya, serta menjadikan dirinya "ada" dan dibutuhkan bukan hanya bagi keluarganya, namun juga bagi masyarakat luas.

Setiap tahun, perayaan hari Kartini yang jatuh tepat pada tanggal 21 April setiap tahunnya selalu dimaknai sebagai kebangkita perempuan. Hari Kartini selalu menjadi momen refleksi bagi kontribusi dan kemajuan perempuan Indonesia, sampai ada istilah "Kartini masa kini". Zaman telah berubah, maka apa yang diperjuangkan perempuan Indonesia dari setiap generasi pun berbeda pula, sesuai dengan kondisi dan situasi. Namun sepertinya ada satu hal yang akan selalu diperjuangkan oleh perempuan mulai dari zaman Kartini hingga zaman sekarang; stereotipe masyarakat mengenai perempuan.

Bukan hal baru lagi jika perempuan selalu diikuti oleh stereotip dan stigma di masyarakat. Perempuan seharusnya menjadi ibu rumah tangga, perempuan harus menikah dibawah 25 tahun agar tidak dianggap perawan tua, perempuan harus bisa masak dan membereskan rumah, perempuan merupakan makhluk lemah yang harus dilindungi oleh laki-laki, perempuan seharusnya tidak lebih tinggi secara penghasilan atau pekerjaan dari laki-laki, dan sebagainya. Hal ini bahkan terjadi pada zaman ibu Kartini, dimana pemikiran bahwa perempuan harus berada diantara dapur, sumur, dan kasur menjadi pemikiran awam masyarakat.

Untuk menjadi wanita yang maju dan bisa mengaktualisasikannya, yang perlu kita lakukan adalah berusaha mendobrak stereotipe ini. Namun yang perlu kita ingat, mendobrak bukan berarti mengubah. Kita tidak akan bisa mengubah pola pikir orang lain. Yang bisa kita lakukan hanyalah membuktikan bahwa pola pikir selain itu tidaklah salah. Yang terpenting dari menjadi seorang wanita dan ibu adalah menjalankan kewajiban dan kodrat yang seharusnya terlbih dahulu.

Sebelum seorang wanita beranjak untuk mengaktualisasikan dirinya, ia harus terlebih dahulu memahami dengan baik kewajiban dan haknya. Bahkan seorang manusia, baik laki-laki maupun perempuan, perlu melaksanakan kewajibannya dahulu sebelum meminta haknya. Maka selama kewajiban kita sebagai seorang anak perempuan, eanita, dan ibu dapat terpenuhi dengan baik, maka aktualisasi diri dan berkarya pun tidak menjadi masalah.

Para wanita, beranilah bermimpi. Kejar mimpi tersebut. Menjadi womanpreneur, pekerja seni, manager, doktor, maupun pekerjaan kantoran bisa kita kejar. Jangan takut akan cemooh dan stereotipe masyarakat. Dirimu berhak mengaktualisasikan diri. Namun jangan lupakan kewajibanmu sebagai wanita dan terlebih lagi jika sudah menjadi seorang ibu. Buktikan para orang lain yang punya stereotipe terhadap wanita bahwa dirimu mampu dan dapat melampaui pemikiran mereka. Ini yang dahulu diperjuangkan ibu Kartini, maka seremonial hari Kartini haruslah diiringi dengan tindakan melanjutkan perjuangannya.

"Apa wanita harus selalu paham dengan urusan dapur? Apa pria harus selalu paham dengan urusan mekanik atau repairing? Kodrat perempuan itu apa? Kalau jawabannya: mengandung, melahirkan, menstruasi; saya setuju. Kalau jawabannya: menikah, punya anak, memasak; maka anda perlu pendidikan lebih" - Jeje Parta

Kamis, 12 April 2018

Untuk Kita Renungkan


Pada hari itu dosenku mulai menceritakan kisah perjalanan hidupnya, tentang bagaimana ia bekerja keras selama menempuh program doktoralnya di Amerika, menjalani hidup sebagai imigran bersama anak dan suaminya, hingga cobaan datang dalam bentuk penyakit yang diderita suaminya dan membuat penglihatan suaminya tidak berfungsi sebagaimana semestinya. Hal tersebut ternyata kerap menimbulkan masalah, contohnya saat ia sedang berjalan.

Hingga tiba di ujung cerita, tentang orang-orang yang langsung menvonis tanpa mengonfirmasi alasan kenapa suaminya sering menabrak orang-orang saat jalan. Hal itu membuatnya sangat kesal. Lucunya, dari sekian banyak pesan-pesan kehidupan yang ia sampaikan melalui ceritanya, aku malah memikirkan hal tersebut. Tentang dirinya yang kesal pada orang-orang yang suka menvonis orang lain bahwa orang tersebut salah tanpa mengonfirmasi cerita dibaliknya terlebih dahulu.

Aku pikir ini benar. Kita sudah sering termakan oleh asumsi kita sendiri, hingga melupakan alasan-alasan serta kenyataan di balik tindakan seseorang.

Aku pernah merasakannya, bagaimana seseorang menvonis tindakanmu sebagai hal yang salah, menyalahkanmu serta meremehkanmu padahal ia tidak tahu apa yang sedang kamu alami.

Aku yakin banyak dari kita menyadari bahwa hal ini kerap terjadi. Sayangnya, sebagian besar mencoba tutup mata atas ironi ini.

Sebenarnya aku pun begitu. Berpikir pesimis bahwa cara pandang itu sudah menjadi budaya manusia. Sulit rasanya untuk mengubah. Namun jika semua orang menutup mata dan mulut atas ironi ini, bukan tidak mungkin jika dampak yang lebih besar akan muncul.

Contohnya apa? Sebut saja kasus bunuh diri.

Suatu artikel mengatakan bahwa kasus bunuh diri bisa disebabkan oleh beberapa faktor, dan salah satu yang paling mempengaruhi adalah perasaan tak berdaya akibat adanya situasi yang menekan orang tersebut. Situasi tersebut paling mungkin muncul dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Artinya, vonis buruk yang kita timpakan ke seseorang bisa menjadi pemicu bunuh diri paling potensial dalam diri orang tersebut, karena ia merasa tertekan dan tak berdaya atas vonis kita. Agar lebih paham, serial televisi kabel 13 reasons why bisa memberikan gambaran bagus dalam fenomena ini.

Ada lagi cerita tentang orang yang membenarkan tindakannya dan mengesampingkan kenyataan yang sedang dialami orang lain karena tindakannya, seperti contoh mencoret-coret baju saat kelulusan di pusat kota. Sebenarnya masalahnya bukan terletak pada coret-coretnya, namun terletak pada akibat yang ditimbulkan jika mereka melakukannya di pusat kota. Munculnya kemacetan panjang, sampah berserakan, dan fasilitas umum ikut rusak tercoret-coret.

Sebagian orang berusaha mencari pembelaan, dengan kalimat “setahun sekali aja kok macetnya. Setahun sekali aja kok berserakan sampahnya. Setahun sekali aja kok tercoretnya.” Tapi coba sejenak berpikir, apa yang akan dialami oleh orang-orang yang terkena dampaknya. Bisa jadi beberapa orang yang terjebak macet saat itu sedang mengejar sesuatu yang penting bagi hidupnya (dan aku pernah merasakan ini). Bisa jadi ada orang yang sedang dalam keadaan darurat saat kemacetan terjadi. Bisa jadi ibu-ibu pekerja kebersihan yang berusia hampir senja harus pulang larut demi membersihkan sampah-sampah yang berserakan. Bisa jadi pemerintah akan mengeluarkan uang pajak dari masyarakat (lagi) untuk merenovasi kerusakan yang ada, padahal masih ada kebutuhan negara yang lebih penting dari sekedar merenovasi dampak kecerobohan kita.

Setelah melihat fenomena yang ada, masihkah kita merasa baik-baik saja ketika menvonis orang dengan seenaknya? Masihkah kita merasa nyaman saat menyepelekan orang lain? Masihkah kita merasa benar, sepele dan tidak peduli atas kejadian yang mereka alami karena ulah kita?

Ah, tapi siapakah aku ini? Bukankah menurut kalian seharusnya aku tidak mengomentari cara pandang orang lain? Namun aku juga punya hak untuk mengungkapkan cara pandangku kan?

Karena menurutku, kehancuran individu dan sosial manusia bukan lagi hanya karena harta, tahta dan wanita. Lebih dari itu, lidah dan cara pandang yang terasah tanpa terarah pun sama berbahayanya.

Senin, 08 Januari 2018

Bebas dan Merdeka (?)

"Jadi kita itu belum dikatakan bebas merdeka, jika kita belum membebaskan orang lain." Seniorku mulai bersuara, mulai melenceng walau masih sedikit berhubungan dengan percakapan sebelumnya. Hari ini waktu ngabuburit kami diisi dengan diskusi pendek tentang apa yang sedang kami resahkan.

"Maksudnya seperti apa?" Sahutku.

"Iya. Sepanjang kita masih berpikiran tertutup dan mudah menyimpulkan, kita masih sangat jauh dari manusia yang bebas dan merdeka" sambungnya kembali.

"Jadi artinya, kita belum bebas merdeka jika masih tidak menghargai kebebasan berpendapat orang lain?" Tanyaku untuk memastikan.

"Iya begitu."

"Temanku seorang yang berpandangan liberal. Islam juga, namun dia berani menyalahkan ajaran Islam sendiri dalam satu tulisanku kemarin. Lalu aku membebaskannya dalam berpandangan. Jadi itu tidak salah?" Aku bertanya kembali.

"Temanmu belum liberal" jawabnya.

Aku sedikit heran. "Kenapa?"

" Temanmu belum liberal. Kau tau artinya liberal kan? Iya, bebas. Ia bisa disebut liberal jika ia tidak menyalahkan keyakinan orang lain. Bagaimana ia bisa disebut bebas jika ia sendiri tidak menerapkan kebebasan itu dalam memahami orang lain?" Jelasnya.

Aku terdiam sejenak. Berpikir tentang tulisanku kemarin yang, kupikir, melanggar kebebasan orang lain.

"Lalu apakah tulisanku yang kemarin salah? Sejujurnya, aku tidak menyalahkannya. Aku hanya...yah, sedikit mengomentari" Kataku.

"Aku tidak akan bilang salah atau benar. Itu bagus. Kau menulis, itu bagus. Mengomentarinya adalah kebebasanmu. Jika dengan menulis kau bisa mengaktualisasikan dan membebaskan dirimu, maka tidak ada yang salah. Dalam teori maslow, kebutuhan tertinggi seorang manusia itu adalah mengaktualisasikan dirinya." Jawabnya.

"Iya, aku juga berpikir begitu. Inilah kebebasanku. Toh aku menulis secara sopan dan penuh pertanggung jawaban. Namun banyak orang tidak paham maksudku. Mereka menganggap aku menyalahkan dia yang kutuju dalam tulisanku" Kali ini aku mengeluh.

"Jika kau sudah melemparkannya ke publik, apapun yang kau lakukan didepan publik, maka orang lain juga punya kebebasan untuk mengomentarinya."

"Jadi dia berhak melakukan sesuatu untuk membebaskan dirinya, lalu aku punya kebebasan untuk mengomentarinya, lalu kemudian orang lain juga punya kebebasan untuk mengomentari (bukan menghujat apalagi menyalahkan) komentarku di publik tadi?" Tanyaku memastikan.

"Iya. Yang perlu kau lakukan hanyalah feel free, jangan dijadikan beban" Jawabnya.

"Yah, dan tetap berbesar hati untuk menerima masukan untuk kebaikanku" sambungku.

"Dan yang terpenting dari itu semua," lanjutnya, "kita jangan berharap orang lain akan sepemikiran dengan kita. Tiap orang punya keotentikannya masing-masing. Tentunya keotentikan pola pikir ini sudah mengalami proses yang panjang, seperti keotentikan pola pikirku. Mulai dari aku belajar dengan tokoh ini, kemudian berdiskusi dengan si A dan B dengan pandangan berbeda-beda,lalu belajar mengenal pemahaman tokoh ini, sehingga lahirlah pola pikirku yang otentik ini, yang sudah mengalami proses  berbeda dari orang lain. Ya ini lah pemikiranku. Lalu jika kita sadar kita khas, kita juga harus terima bahwa orang lain juga begitu. Dengan begitu, maka kita bisa menjadi manusia yang bebas merdeka." Jelasnya panjang lebar. Menyisakan aku yang berpikir ulang tentang diriku.

Sudahkah aku menjadi manusia yang merdeka?
Atau bahkan masih sangat jauh dari kata bebas dan merdeka?