Dunia
sedang memasuki era globalisasi, yang ditandai dengan terjadinya proses
integrasi internasional yang meliputi pertukaran pemikiran, pengetahuan, produk
dan aspek-aspek budaya lainnya. Globalisasi membawa inovasi dan perubahan yang
cukup signifikan di seluruh dunia, salah satunya adalah media sosial. Media
sosial adalah media daring dimana semua orang dari seluruh dunia bisa
berinteraksi jarak jauh. Berbeda dengan fasilitas telepon, media sosial mampu
menghubungkan banyak orang untuk berinteraksi satu sama lain bahkan yang belum
dikenal. Media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram perlahan semakin diminati publik karena selalu
diperbarui juga dengan fasilitas yang menarik, seperti fasilitas mengunggah banyak
gambar, video dengan durasi yang cukup lama, dan sebagainya. Dewasa ini, media
sosial bahkan mampu menjadi tempat dimana semua orang bisa menunjukkan siapa
dan bagaimana dirinya. Singkatnya, media sosial beralih dari sekadar wadah
berinteraksi menjadi wadah untuk setiap orang mengaktualisasikan dirinya.
Hal itu tentunya menjadi salah satu hal
positif dalam perkembangan zaman yang terjadi saat ini. Masyarakat kita tidak
perlu lagi harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk melihat sekilas seperti
apa Eropa dan berinteraksi dengan orang-orang yang tinggal di sana. Dengan
media sosial, setiap orang punya kesempatan untuk berinteraksi dengan orang di
belahan dunia lain, entah itu untuk berbagi ilmu, pengalaman, atau sekadar berteman. Namun tidak
dapat dipungkiri, media sosial juga memiliki sisi negatif bagi penggunanya. Menurut
artikel yang bersumber dari laman bbc.com, beberapa dampak negatif yang
disebabkan oleh penggunaan media sosial antara lain kecanduan, meningkatnya
tingkat kecemasan, terganggunya hubungan di dunia nyata, kepercayaan diri, dan
kesulitan tidur (insomnia). Hal
inilah yang melatarbelakangi banyak pihak memandang negatif penggunaan media
sosial khususnya di kalangan remaja dan penuda. Pemuda zaman sekarang yang
dewasa ini sudah dilabeli dengan sebutan ‘generasi milenial’ dinilai rentan
terhadap hal negatif yang ditimbulkan media sosial. Banyak orang tua dan
generasi lampau menyebut generasi milenial sebagai generasi yang pemalas,
apatis terhadap lingkungan, dan anti sosial karena sibuk dengan gawai (gadget) dan mdia sosial mereka. Padahal, realita media sosial sekarang ini justru
menunjukkan tingginya kepedulian sosial para pemuda pengguna media sosial.
Media
sosial twitter sekarang kembali digandrungi oleh masyarakat terutama anak muda,
setelah sebelumnya sempat sepi peminat. Merebaknya kembali pemakaian Twitter di
dunia internet bukan hanya sekadar menaikkan kembali media sosial ini, namun
juga memunculkan tren-tren baru. Salah satu tren yang merebak di Twitter adalah
“Twitter, please do your magic”. Tren
ini adalah tren dimana seseorang membuat sebuah utas untuk meminta tolong dari
para pengguna Twitter. Biasanya utas tersebut berisi kisah tentang hidup
seseorang dan kenapa ia perlu dibantu, baik secara material, seperti dana,
maupun non-material, seperti retweet
atau komentar-komentar penyemangat di kolom khusus komentar. Beberapa utas do your magic yang tela berhasil antara
lain tentang seorang anak yatim piatu yang butuh dibantu secara materi, cerita
tentang supir ojek daring yang tertimpa musibah dan butuh pertolongan, kakek
tua yang sudah renta namun masih semangat mencari rezeki dengan berjualan dan
sebagainya.
Tren kebaikan seperti ini menjadi menarik, ketika kita
tahu bahwa pembuat utasnya sendiri adalah para anak muda usia 20-an tahun. Beberapa
diantaranya bahkan masih berstatus mahasiswa, namun bisa menggerakkan orang
lain untuk membantu sosok yang diceritakannya melalui utas tersebut. Tren ini
tidak jarang membuat para figur publik atau influencer
media sosial menjadi tergerak untuk membantu, khususnya dalam hal materi.
Salah satunya Karin Novilda atau yang akrab dengan panggilan Awkarin. Ia
menjadi salah satu contoh influencer yang
sigap membantu orang-orang yang butuh bantuan dan dipromosikan melalui tren do your magic ini.
Selain
itu, twitter maupun instagram juga mulai ramai dengan anak-anak muda yang
dengan sukarela mau membagikan pengalaman yang pernah terjadi dalam hidupnya
maupun tips menarik. Beberapa diantaranya adalah pengalaman agar lebih
berhati-hati dengan penipuan di internet, tips berwirausaha, maupun tips
memasak cemilan sederhana dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan. Hal-hal
semacam ini tentu bermanfaat dan membantu kita dalam kehidupan sehari-hari.
Satu
hal yang mengesankan adalah bahwa anak muda di era sekarang bukan hanya peduli
pada orang-orang yang membutuhkan secara materi, namun juga suportif pada
pengguna media sosial lain yang membutuhkan dukungan secara moral dan mental.
Hal ini mungkin masih sulit ditemukan di media sosial seperti Facebook dan
Instagram, karena selain latar belakang penggunanya yang beragam, pola pikir
pengguna setiap platform media sosial pun berbeda-beda. Namun di Twitter, kita
bisa mulai menemukan anak-anak muda yang suportif dan peduli pada rekan sesama
pengguna.
Kesehatan mental dewasa ini menjadi salah satu isu
yang mulai dianggap cukup penting, menyusul banyaknya kasus bunuh diri dan
depresi yang terjadi, dan anak muda pengguna media sosial mulai sadar betul
akan hal ini. Mereka mulai punya kesadaran untuk mencegah terjadinya
perundungan di dunia maya (cyber bullying),
yang diperkirakan menjadi penyebab terbesar kasus bunuh diri. Hal ini membuat
mereka tergerak untuk memberikan dukungan dan kalimat positif untuk rekan
pengguna lainnya, baik yang terlihat sedang tertekan maupun yang membutuhkan
dukungan moral secara terang-terangan.
Beberapa anak mudia di media sosial seperti komunitas
penggemar K-Pop juga menyediakan jasa konsultasi psikologi secara daring, salah
satunya adalah Army Help Center (AHC). Komunitas ini terdiri dari anak-anak
muda lulusan psikologi sekaligus penggemar grup music Korea, yaitu BTS. Sebagai
penggemar yang melanjutkan misi idolanya, yaitu mengkampanyekan love yourself, anak muda di komunitas
ini menyediakan layanan konsultasi dan curhat untuk orang lain yang butuh untuk
didengarkan dan diberikan dukungan. Rasanya ini cukup menjadi antitesis
terhadap stigma bahwa media sosial menyebabkan depresi dan gangguan kecemasan.
Pada kenyataannya, banyak orang lebih menemukan dukungan dan kehangatan dari
orang-orang di media sosial dari pada orang-orang sekitarnya di dunia nyata.
Beberapa
tren kebaikan tersebut menjadi bukti yang cukup untuk membuka wawasan kita
bahwa media sosial tidak sepenuhnya membawa keburukan, dan pemuda Indonesia
dewasa ini tidaklah apatis, pemalas dan anti sosial seperti yang kita
asumsikan. Kenyataannya, para pemuda bahkan bisa menjadi pencetus dan inisiator
kebaikan untuk lingkungannya. Harapan penulis, semoga para pemuda akan terus
menggaungkan tren-tren kebaikan serta akan tetap menjaga api semangat berbuat
kebaikan dalam diri mereka.