Senin, 08 Januari 2018

Bebas dan Merdeka (?)

"Jadi kita itu belum dikatakan bebas merdeka, jika kita belum membebaskan orang lain." Seniorku mulai bersuara, mulai melenceng walau masih sedikit berhubungan dengan percakapan sebelumnya. Hari ini waktu ngabuburit kami diisi dengan diskusi pendek tentang apa yang sedang kami resahkan.

"Maksudnya seperti apa?" Sahutku.

"Iya. Sepanjang kita masih berpikiran tertutup dan mudah menyimpulkan, kita masih sangat jauh dari manusia yang bebas dan merdeka" sambungnya kembali.

"Jadi artinya, kita belum bebas merdeka jika masih tidak menghargai kebebasan berpendapat orang lain?" Tanyaku untuk memastikan.

"Iya begitu."

"Temanku seorang yang berpandangan liberal. Islam juga, namun dia berani menyalahkan ajaran Islam sendiri dalam satu tulisanku kemarin. Lalu aku membebaskannya dalam berpandangan. Jadi itu tidak salah?" Aku bertanya kembali.

"Temanmu belum liberal" jawabnya.

Aku sedikit heran. "Kenapa?"

" Temanmu belum liberal. Kau tau artinya liberal kan? Iya, bebas. Ia bisa disebut liberal jika ia tidak menyalahkan keyakinan orang lain. Bagaimana ia bisa disebut bebas jika ia sendiri tidak menerapkan kebebasan itu dalam memahami orang lain?" Jelasnya.

Aku terdiam sejenak. Berpikir tentang tulisanku kemarin yang, kupikir, melanggar kebebasan orang lain.

"Lalu apakah tulisanku yang kemarin salah? Sejujurnya, aku tidak menyalahkannya. Aku hanya...yah, sedikit mengomentari" Kataku.

"Aku tidak akan bilang salah atau benar. Itu bagus. Kau menulis, itu bagus. Mengomentarinya adalah kebebasanmu. Jika dengan menulis kau bisa mengaktualisasikan dan membebaskan dirimu, maka tidak ada yang salah. Dalam teori maslow, kebutuhan tertinggi seorang manusia itu adalah mengaktualisasikan dirinya." Jawabnya.

"Iya, aku juga berpikir begitu. Inilah kebebasanku. Toh aku menulis secara sopan dan penuh pertanggung jawaban. Namun banyak orang tidak paham maksudku. Mereka menganggap aku menyalahkan dia yang kutuju dalam tulisanku" Kali ini aku mengeluh.

"Jika kau sudah melemparkannya ke publik, apapun yang kau lakukan didepan publik, maka orang lain juga punya kebebasan untuk mengomentarinya."

"Jadi dia berhak melakukan sesuatu untuk membebaskan dirinya, lalu aku punya kebebasan untuk mengomentarinya, lalu kemudian orang lain juga punya kebebasan untuk mengomentari (bukan menghujat apalagi menyalahkan) komentarku di publik tadi?" Tanyaku memastikan.

"Iya. Yang perlu kau lakukan hanyalah feel free, jangan dijadikan beban" Jawabnya.

"Yah, dan tetap berbesar hati untuk menerima masukan untuk kebaikanku" sambungku.

"Dan yang terpenting dari itu semua," lanjutnya, "kita jangan berharap orang lain akan sepemikiran dengan kita. Tiap orang punya keotentikannya masing-masing. Tentunya keotentikan pola pikir ini sudah mengalami proses yang panjang, seperti keotentikan pola pikirku. Mulai dari aku belajar dengan tokoh ini, kemudian berdiskusi dengan si A dan B dengan pandangan berbeda-beda,lalu belajar mengenal pemahaman tokoh ini, sehingga lahirlah pola pikirku yang otentik ini, yang sudah mengalami proses  berbeda dari orang lain. Ya ini lah pemikiranku. Lalu jika kita sadar kita khas, kita juga harus terima bahwa orang lain juga begitu. Dengan begitu, maka kita bisa menjadi manusia yang bebas merdeka." Jelasnya panjang lebar. Menyisakan aku yang berpikir ulang tentang diriku.

Sudahkah aku menjadi manusia yang merdeka?
Atau bahkan masih sangat jauh dari kata bebas dan merdeka?