Pada hari itu dosenku
mulai menceritakan kisah perjalanan hidupnya, tentang bagaimana ia bekerja
keras selama menempuh program doktoralnya di Amerika, menjalani hidup sebagai
imigran bersama anak dan suaminya, hingga cobaan datang dalam bentuk penyakit
yang diderita suaminya dan membuat penglihatan suaminya tidak berfungsi
sebagaimana semestinya. Hal tersebut ternyata kerap menimbulkan masalah,
contohnya saat ia sedang berjalan.
Hingga tiba di ujung
cerita, tentang orang-orang yang langsung menvonis tanpa mengonfirmasi alasan
kenapa suaminya sering menabrak orang-orang saat jalan. Hal itu membuatnya
sangat kesal. Lucunya, dari sekian banyak pesan-pesan kehidupan yang ia
sampaikan melalui ceritanya, aku malah memikirkan hal tersebut. Tentang dirinya
yang kesal pada orang-orang yang suka menvonis orang lain bahwa orang tersebut
salah tanpa mengonfirmasi cerita dibaliknya terlebih dahulu.
Aku pikir ini benar.
Kita sudah sering termakan oleh asumsi kita sendiri, hingga melupakan
alasan-alasan serta kenyataan di balik tindakan seseorang.
Aku pernah
merasakannya, bagaimana seseorang menvonis tindakanmu sebagai hal yang salah,
menyalahkanmu serta meremehkanmu padahal ia tidak tahu apa yang sedang kamu
alami.
Aku yakin banyak dari
kita menyadari bahwa hal ini kerap terjadi. Sayangnya, sebagian besar mencoba
tutup mata atas ironi ini.
Sebenarnya aku pun
begitu. Berpikir pesimis bahwa cara pandang itu sudah menjadi budaya manusia.
Sulit rasanya untuk mengubah. Namun jika semua orang menutup mata dan mulut atas
ironi ini, bukan tidak mungkin jika dampak yang lebih besar akan muncul.
Contohnya apa? Sebut saja
kasus bunuh diri.
Suatu artikel
mengatakan bahwa kasus bunuh diri bisa disebabkan oleh beberapa faktor, dan salah
satu yang paling mempengaruhi adalah perasaan tak berdaya akibat adanya situasi
yang menekan orang tersebut. Situasi tersebut paling mungkin muncul dari
lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Artinya, vonis buruk yang kita
timpakan ke seseorang bisa menjadi pemicu bunuh diri paling potensial dalam
diri orang tersebut, karena ia merasa tertekan dan tak berdaya atas vonis kita.
Agar lebih paham, serial televisi kabel 13
reasons why bisa memberikan gambaran bagus dalam fenomena ini.
Ada lagi cerita tentang
orang yang membenarkan tindakannya dan mengesampingkan kenyataan yang sedang
dialami orang lain karena tindakannya, seperti contoh mencoret-coret baju saat
kelulusan di pusat kota. Sebenarnya masalahnya bukan terletak pada coret-coretnya,
namun terletak pada akibat yang ditimbulkan jika mereka melakukannya di pusat
kota. Munculnya kemacetan panjang, sampah berserakan, dan fasilitas umum ikut
rusak tercoret-coret.
Sebagian orang berusaha
mencari pembelaan, dengan kalimat “setahun sekali aja kok macetnya. Setahun
sekali aja kok berserakan sampahnya. Setahun sekali aja kok tercoretnya.” Tapi
coba sejenak berpikir, apa yang akan dialami oleh orang-orang yang terkena
dampaknya. Bisa jadi beberapa orang yang terjebak macet saat itu sedang
mengejar sesuatu yang penting bagi hidupnya (dan aku pernah merasakan ini).
Bisa jadi ada orang yang sedang dalam keadaan darurat saat kemacetan terjadi.
Bisa jadi ibu-ibu pekerja kebersihan yang berusia hampir senja harus pulang
larut demi membersihkan sampah-sampah yang berserakan. Bisa jadi pemerintah
akan mengeluarkan uang pajak dari masyarakat (lagi) untuk merenovasi kerusakan
yang ada, padahal masih ada kebutuhan negara yang lebih penting dari sekedar
merenovasi dampak kecerobohan kita.
Setelah melihat
fenomena yang ada, masihkah kita merasa baik-baik saja ketika menvonis orang
dengan seenaknya? Masihkah kita merasa nyaman saat menyepelekan orang lain?
Masihkah kita merasa benar, sepele dan tidak peduli atas kejadian yang mereka alami
karena ulah kita?
Ah, tapi siapakah aku
ini? Bukankah menurut kalian seharusnya aku tidak mengomentari cara pandang
orang lain? Namun aku juga punya hak untuk mengungkapkan cara pandangku kan?
Karena menurutku,
kehancuran individu dan sosial manusia bukan lagi hanya karena harta, tahta dan
wanita. Lebih dari itu, lidah dan cara pandang yang terasah tanpa terarah pun
sama berbahayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar