Senin, 23 April 2018

Dream, girl!: Mendobrak Stereotipe.

Berbicara mengenai perempuan memang tidak ada habisnya. Perempuan dan segala kisahnya kerap digaungkan sebagai bagian dari perjalanan hidup , termasuk oleh masyarakat Indonesia. Dengan ibu Kartini sebagai representatif, perempuan dengan segala tentangnya kerap dibincangkan oleh kita semua, setidaknya setahun sekali melalui hari Kartini.

Hari ke hari, ibu Kartini selalu menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia dari berbagai zaman. Tentunya zaman setelah Kartini. Hadirnya ibu Kartini menjadi sebuah pemantik bagi perempuan-perempuan Indonesia setelahnya untuk bergerak, mengaktualisasikan dirinya, serta menjadikan dirinya "ada" dan dibutuhkan bukan hanya bagi keluarganya, namun juga bagi masyarakat luas.

Setiap tahun, perayaan hari Kartini yang jatuh tepat pada tanggal 21 April setiap tahunnya selalu dimaknai sebagai kebangkita perempuan. Hari Kartini selalu menjadi momen refleksi bagi kontribusi dan kemajuan perempuan Indonesia, sampai ada istilah "Kartini masa kini". Zaman telah berubah, maka apa yang diperjuangkan perempuan Indonesia dari setiap generasi pun berbeda pula, sesuai dengan kondisi dan situasi. Namun sepertinya ada satu hal yang akan selalu diperjuangkan oleh perempuan mulai dari zaman Kartini hingga zaman sekarang; stereotipe masyarakat mengenai perempuan.

Bukan hal baru lagi jika perempuan selalu diikuti oleh stereotip dan stigma di masyarakat. Perempuan seharusnya menjadi ibu rumah tangga, perempuan harus menikah dibawah 25 tahun agar tidak dianggap perawan tua, perempuan harus bisa masak dan membereskan rumah, perempuan merupakan makhluk lemah yang harus dilindungi oleh laki-laki, perempuan seharusnya tidak lebih tinggi secara penghasilan atau pekerjaan dari laki-laki, dan sebagainya. Hal ini bahkan terjadi pada zaman ibu Kartini, dimana pemikiran bahwa perempuan harus berada diantara dapur, sumur, dan kasur menjadi pemikiran awam masyarakat.

Untuk menjadi wanita yang maju dan bisa mengaktualisasikannya, yang perlu kita lakukan adalah berusaha mendobrak stereotipe ini. Namun yang perlu kita ingat, mendobrak bukan berarti mengubah. Kita tidak akan bisa mengubah pola pikir orang lain. Yang bisa kita lakukan hanyalah membuktikan bahwa pola pikir selain itu tidaklah salah. Yang terpenting dari menjadi seorang wanita dan ibu adalah menjalankan kewajiban dan kodrat yang seharusnya terlbih dahulu.

Sebelum seorang wanita beranjak untuk mengaktualisasikan dirinya, ia harus terlebih dahulu memahami dengan baik kewajiban dan haknya. Bahkan seorang manusia, baik laki-laki maupun perempuan, perlu melaksanakan kewajibannya dahulu sebelum meminta haknya. Maka selama kewajiban kita sebagai seorang anak perempuan, eanita, dan ibu dapat terpenuhi dengan baik, maka aktualisasi diri dan berkarya pun tidak menjadi masalah.

Para wanita, beranilah bermimpi. Kejar mimpi tersebut. Menjadi womanpreneur, pekerja seni, manager, doktor, maupun pekerjaan kantoran bisa kita kejar. Jangan takut akan cemooh dan stereotipe masyarakat. Dirimu berhak mengaktualisasikan diri. Namun jangan lupakan kewajibanmu sebagai wanita dan terlebih lagi jika sudah menjadi seorang ibu. Buktikan para orang lain yang punya stereotipe terhadap wanita bahwa dirimu mampu dan dapat melampaui pemikiran mereka. Ini yang dahulu diperjuangkan ibu Kartini, maka seremonial hari Kartini haruslah diiringi dengan tindakan melanjutkan perjuangannya.

"Apa wanita harus selalu paham dengan urusan dapur? Apa pria harus selalu paham dengan urusan mekanik atau repairing? Kodrat perempuan itu apa? Kalau jawabannya: mengandung, melahirkan, menstruasi; saya setuju. Kalau jawabannya: menikah, punya anak, memasak; maka anda perlu pendidikan lebih" - Jeje Parta

1 komentar: